Minggu, 06 Maret 2011

Ketika Amerika Mengusik Cina

Beijing rupanya tak mau melunak kepada Amerika Serikat, "negeri imperialis nomor satu di dunia itu" atas sikap politiknya yang mulai mengusik Cina di Asia.

Sejak AS menggalang kekuatan untuk menekan pengaruh Cina di Asia, dengan memberikan dukungan terhadap negara Asia untuk berani menyelesaikan masalah sengketa wilayah dengan Cina. Maka sejak saat itu pula, Cina tak segan-segan mengecam AS.

Dalam beberapa bulan terakhir, hubungan Washington-Beijing memang terus memanas lantaran mata uang Yuan. AS dan negara-negara Barat lainnya, bahkan sempat memprotes kebijakan mata uang Yuan dalam KTT G-20 di Kanada bulan Juni lalu.

AS kala itu mengecam kebijakan Cina yang secara sepihak memperkuat mata uangnya sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. AS bersama negara Barat mendesak pemerintah Cina merevaluasi Yuan.

Langkah ini dilakukan karena AS merupakan negara yang terkena langsung dampak penguatan mata uang Cina, terutama di sektor pekerjaan. Dari mata uang inilah hubungan AS-Cina merambah ke ranah politik dan militer.

AS terus mencurigai motif-motif Cina memperluas kontrol dan pengaruhnya di Asia. Mengenai persepsi ''ancaman militer Cina'', Menteri Pertahanan AS Robert Gates saat berkunjung ke Vietnam mengatakan seharusnya Vietnam-Jepang dan negara Asia lainnya bersatu untuk membendung kekuatan Cina mengenai tapal batas dengan beberapa negara Asia.

Gaung bersambut, negeri tirai bambu itu menilai pernyataan Gates sebagai campur tangas AS terhadap urusan dapur Cina. Bahkan Cina mendesak AS bersikap jantan agar tidak mengaitkan masalah Yuan dengan persoalan dalam negeri mereka.

Sejauh ini, Pentagon melihat militer Cina sangat mungkin mengubah keseimbangan kekuatan di Asia. Untuk itulah, dalam lawatan ke Vietnam pada 10 Oktober lalu, Robert Gates membahas soal-soal strategis dari kepentingan AS.

Kunjungan Gates ini rencananya akan diikuti kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia dan negara asia lainnya, terutama ingin memberi beberapa insentif kepada Indonesia supaya mau menjadi mitra strategisnya.

Apalagi hubungan Beijing-Jakarta dalam hal ekonomi semakin mesra dengan kunjungan beberapa pejabat negara ke Cina beberapa pekan lalu. Indonesia dan negara ASEAN lainnya tetap melihat Cina sebagai mitra strategis yang tak kalah penting dibandingkan AS.

Hubungan ini menjadi sangat dinamis pasca era Perang Dingin. Masing-masing negara berperan sesuai power dan capability yang dimilikinya. Bahkan, dalam menghadapi dinamika di Asia selama ini, Cina, Indonesia dan ASEAN memiliki strategi dan perhitungannya sendiri-sendiri, yang tidak begitu saja mengikuti irama strategi AS. Indonesia, misalnya, telah menggalang kemitraan strategis dengan Cina sejak April 2005.

Pertanyaannya, kenapa hubungan Cina-Asia tampak lebih dekat ketimbang AS-Asia? Profesor Chang Heng Chee dari National University of Singapore pernah mengatakan negara-negara Asia merasa ditinggalkan AS saat krisis ekonomi 1997-1998.

Ketidaksungguhan dan kegagalan AS membantu mencegah kemerosotan mata uang Baht Thailand, Ringgit Malaysia, Rupiah Indonesia, Dolar Singapura, dan Peso Filipina, telah mengecewakan para pemimpin Asia dan ASEAN.

Akibatnya, bangsa-bangsa di ASEAN yang harus menanggung beban berat akibat krisis ekonomi yang membuat bangsa-bangsa kawasan ini menjadi miskin karena pendapatan per kapita rakyatnya merosot tajam.

Perlakuan dan kebijakan IMF dan Bank Dunia dalam mengatasi krisis ekonomi di Asia, di mana kedua badan dunia itu dikendalikan AS, ternyata keliru (malpraktik) dan justru mempersulit pemulihan ekonomi di Asia. Inilah yang membuat Indonesia dan negara Asia lainnya terjerembab ke dalam krisis ekonomi yang relatif lama.

Untuk itulah, saat dampak krisis keuangan global pada tahun 2008 lalu menerjang Indonesia. Pemerintah tak mau melibatkan IMF untuk menyuntikkan dana bantuan.

Sebaliknya, Cina justru menawarkan bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi Asia. Dan pada saat yang sama, Cina membangun hubungan diplomatik lebih erat. Hal ini mengubah persepsi Asia tentang Cina dan mengesankan tersisihnya AS dari Asia akibat menguatnya peran politik luar negeri Cina di Asia.

Barulah pada tahun 2001 menyusul pengeboman WTC, keterlibatan AS di Asia mulai diperkuat kembali, namun itu pun hanya terbatas isu perang terhadap terorisme. Itulah satu-satunya pintu masuk Washington ke ASEAN yang terbuka.

Cina kini menjadi perhatian dunia. Dari sisi ekonomi, volume impor Cina meningkat drastis. Guna memacu pertumbuhan industrinya, Cina yang miskin sumber daya alam membutuhkan bahan energi dan hasil tambang. Serbuan perusahaan migas Cina ke Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya bisa dilihat dari kondisi itu.

Untuk itu, AS harus berinisiatif untuk terlibat lebih jauh di Asia jika hendak mengimbangi kehadiran dan pengaruh Cina. Dalam konteks ini, rencana kunjungan Obama ke Jakarta menemukan momentumnya yang harus dilihat sebagai upaya Washington meningkatkan pengaruh dan hubungan dengan Jakarta.

Meskipun, sekali lagi dinamika hubungan Cina-AS akan terus memanas seiring kepentingan masing-masing negara di masa mendatang yang masih diwarnai pelbagai kemungkinan dan ketidakpastian. Kini tinggalah Indonesia ingin berada di posisi yang mana? Yang menentukan atau ditentukan dari percaturan politik global. Semua itu, tergantung dari pemerintah dan rakyatnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar