Minggu, 06 Maret 2011

Hubungan Kerja Sama ASEAN, Amerika Serikat dan China: Sebuah Politik Luar Negeri Penyeimbang Kekuatan

Abstracts
Dinamika hubungan internasional di kawasan Asia Tenggara terlihat semakin dinamis selama dan pasca Perang Dingin. Selama Perang Dingin pulalah semangat regionalisme di kawasan ini muncul dengan terbentuknya ASEAN pada 1967. Dinamisasi tersebut makin hidup dengan dibukanya hubungan dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China. Dalam perkembangannya hubungan yang dijalin tersebut mengalami fluktuasi mengikuti perkembangan zaman. Tulisan ini menekankan pada hubungan internasional kontemporer antara ASEAN, Amerika Serikat, dan China dalam perspektif politik luar negerinya.

Keywords: politik luar negeri, ASEAN, Amerika Serikat, China

Pengantar

Dunia global merupakan sebuah arena inter-relasi antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam hubungan tersebut tentunya terjadi proses saling membutuhkan satu sama lain. Supaya kontinuitas hubungan baik yang ada tetap terjaga maka sikap penentuan diri guna menjaga jarak antara politik luar negeri dengan politik dalam negeri adalah sebuah keniscayaan. Bagi suatu negara, politik luar negeri merupakan suatu upaya pencapaian maksimal guna meraih national interest yang terumuskan dalam proses pembuatan politik luar negerinya. Menurut J.R Childs (dalam M.A Vincsensio Dugis, 1988), politik luar negeri merupakan isi pokok dari hubungan luar negeri suatu negara. Politik luar negeri bersifat dinamis, artinya ia dapat berubah sesuai dengan kondisi internal dan eksternal yang terjadi pada suatu kurun waktu tertentu (Brian White, 1998). Fleksibilitas politik luar negeri adalah sebuah keniscayaan, mengingat dinamika hubungan internasional sangat majemuk sehingga benturan dengan situasi-situasi yang kemudian dapat merugikan national interest negara sebagai aktor dalam hubungan internasional dapat dihindari (M.A Vincsensio Dugis, 1988). Melihat realitas tersebut , maka hubungan ASEAN dengan Amerika Serikat dan China yang fluktuatif merupakan suatu kewajaran apalagi di Asia Tenggara diperlukan adanya keseimbangan kekuatan negara besar.

ASEAN dan Amerika Serikat

Dinamisasi hubungan antara ASEAN dan Amerika Serikat semakin nampak pasca Perang Dunia II. Perang yang melahirkan 2 negara super power dengan ideologi yang kontradiktif- Amerika Serikat dan Uni Soviet- memaksa negara kapitalis tersebut untuk segera menanamkan pengaruh dominannya di kawasan Asia Tenggara. Guna menghalau pengaruh komunis sebagai bagian dari containment policy, Amerika Serikat menjalin kerjasama dengan Philipina melalui The Military Bases Agreement sehingga bisa membangun pangkalan militernya di negara salah satu founding fathers ASEAN tersebut (Bambang Cipto, 2006: 163-166). Selain itu, Amerika Serikat membuat pakta pertahanan SEATO yang merupakan justifikasi untuk mendukung gerakan anti-komunis yang merupakan garis ideologi pemerintahan non-komunis Vietnam Selatan. Dengan konspirasi yang lihai, Amerika Serikat dan musuh bebuyutannya, Uni Soviet, berseteru dalam Perang Vietnam yang ditandai dengan kekalahan di pihak Amerika Serikat. Ini merupakan momentum awal menurunnya kiprah Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Menurunnya kiprah tersebut juga diikuti dengan terbentuknya ASEAN Regional Forum (ARF) yang merupakan arena utama guna membahas isu-isu keamanan di kawasan Asia Pasifik. Tujuan didirikannya forum ini adalah untuk menciptakan ruang dialog dan konsultasi yang konstruktif bagi para pihak-pihak yang terlibat di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya (Bambang Cipto, 2006: 209). Dalam kaitannya dengan ASEAN ini, pangkalah laut Amerika Serikat di Subic Bay, Philipina dan pangkalan udara di Clark Base, Singapura ditutup. Namun beberapa negara ASEAN seperti Philipina, Thailand, Singapura, Malaysia dan Indonesia menjalin kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat dalam bentuk hubungan bilateral, meskipun secara implisit Malaysia dan Indonesia kurang berkenan akan hadirnya Amerika Serikat di Asia Tenggara.
Hubungan ASEAN dan Amerika Serikat berubah drastis pasca peristiwa 9/11, dimana kemudian Presiden Amerika Serikat George Walker Bush, Jr. melakukan kebijakan politik luar negeri berupa war on terorism dan menganggap negara yang tidak mengikuti kebijakannya ini sebagai pendukung teorisme dan musuh Amerika Serikat. Berpihaknya ASEAN terhadap politik luar negeri Amerika Serikat ini terlihat dalam The 9th ASEAN Ministerial Meeting yang diselenggarakan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam pada 31 Juli 2002 dengan agenda pembahasan utamanya yaitu isu terorisme. Dan hal tersebut berlangsung hingga pertemuan The 10th ASEAN Ministerial Meeting yang diadakan pada 18 Juni 2003 di Phnom Penh, Kamboja dengan pembahasan kerja sama dalam upaya mengatasi terorisme di kawasan Asia Pasifik. Perubahan itu juga terkait dengan kemunculan China sebagai kekuatan ekonomi baru dunia yang dikhawatirkan dapat menyaingi dominasi dan hegemoni Amerika Serikat di dunia dan Asia Tenggara khususnya, dimana sebelumnya Amerika Serikat menyadari kekuatan China sudah lama bermain di kawasan ini.

ASEAN dan China

Sebagai salah satu negara penganut ideologi komunis, hubungan China dan ASEAN pada awalnya dipenuhi rasa saling curiga karena sebagian besar negara ASEAN dikendalikan oleh Amerika Serikat sebagai kampiun ideologi liberal dan merupakan musuh ideologi komunis. Selain itu, sebagian besar penduduk ASEAN merupakan muslim dan Nasrani yang tentunya berseberangan dengan China yang berpaham atheis (Bambang Cipto, 2006). Meskipun begitu, di tengah kecurigaan tersebut, produk-produk ekonomi China sudah memasuki pasar ASEAN. Perubahan terjadi sejak pemerintahan Deng Xiao Ping yang mulai mereformasi politik luar negeri dan ekonomi China. Kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke beberapa negara ASEAN seperti ke Indonesia dan Singapura serta kehadiran Menteri Luar Negeri China, Qian Qichen, dalam pertemuan ASEAN di awal tahun 1990an menjadikan hubungan kedua belah pihak semakin harmonis. Pemerintah China meyakinkan ASEAN bahwa ada perubahan mendasar dalam politik luar negerinya di ASEAN. Hal ini dibuktikan dengan mengurangi dukungan terhadap gerakan komunis di ASEAN dan dibuktikan dengan menutup radio komunis di Thailand dan Malaysia.
Hubungan China dan ASEAN tidaklah berjalan mulus. Di satu sisi, ada beberapa hal sensitif, seperti keterlibatan China dalam G 30 S/ PKI di Indonesia, Vietnam yang pernah ”di-agresi” dan menduduki kepulauan Paraced serta klaim atas Kepulauan Spratly, konflik China- Philipina atas Kepulauan Mischief Reef. Namun di sisi yang lain, Myanmar memiliki hubungan khusus dengan China serta Singapura dan Malaysia dengan alasan etnis juga menjalin hubungan dengan China. Tetapi kehadiran China di kawasan Asia Tenggara sebagai penyeimbang kekuatan, mutlak diperlukan oleh ASEAN. Kebangkitan ekonomi China awal 1990an, juga turut memiliki pengaruh terhadap kebijakan ASEAN untuk tetap menjalin kerjasama dengan negeri Tirai Bambu tersebut. Ini terbukti dengan munculnya China sebagai mitra dialog ASEAN melalui mekanisme ASEAN+3.
Sejak akhir abad ke- 20, China mulai merealisasikan konsep baru kebijakan luar negerinya sehingga hubungan dengan kawasan Asia Tenggara baik dalam bentuk hubungan bilateral maupun kolektif semakin banyak. Hal ini juga terkait dengan national interest China guna mendapatkan dukungan politik atas kasus Taiwan. Mengingat di Asia Tenggara diperlukan adanya keseimbangan kekuatan, maka ASEAN harus berusaha semaksimal mungkin menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat dan China, sekaligus mengambil keuntungan maksimal dari kerja sama tersebut.

Simpulan
Membaca hubungan kerja sama antara ASEAN, Amerika Serikat dan China dapat disimpulkan bahwa tesis utama dalam kebijakan luar negeri berupa national interest tetap merupakan faktor kunci. Di sini saya melihat kepiawaian ASEAN dalam memainkan ”kartu”nya demi mendapatkan manfaat maksimal terutama dipandang dari perspektif regional. Hubungan kerja sama dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan super power yang tersisa usai Perang Dingin dan ketergantungan ASEAN terhadap negara besar ini tentu tak dapat dipungkiri. Apalagi sejak peristiwa 9/11, Amerika Serikat sangat berkepentingan akan kawasan yang mayoritas penduduknya adalah muslim (yang oleh Amerika Serikat dianggap amat berbahaya setelah Perang Dingin usai). Lain Amerika Serikat lain pula China. Selain tumbuh sebagai kekuatan ekonomi baru, China merupakan salah satu dari 5 kekuatan besar dunia dan tentunya tidak ingin dominasinya di kawasan Asia Tenggara ”diambil alih” oleh kekuatan lain. Karenanya, hubungan kerja sama China dengan ASEAN lebih merupakan upaya mendapat kepercayaan guna eksisnya kekuatan dominasi dan hegemoni China di Asia Tenggara, selain karena ingin mendapat dukungan politik atas kasus Taiwan. ASEAN ibarat the paddy sedangkan China laksana the dragon dan karenanya diperlukan the nexus yang tentu harus dapat dicapai ASEAn ke depannya.
Masa depan ASEAN lebih ditentukan akan ”lihai”nya mereka dalam mengambil sebanyak mungkin keuntungan dari kerjasama dengan Amerika Serikat dan China sebagai bentuk kebijakan penyeimbang kekuatan besar dunia di kawasan Asia Tenggara dengan tetap menjaga hubungan baik antara keduanya@Abu Yasid Al-Busthomi Ibnu Syamsul Arifin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar